Siapa sangka ternyata Rokok memiliki peran besar bagi pundi-pundi kas negara. Setiap satu batang rokok yang disulut, ada Rp 800 rupiah yang akan mengisi kas negara.
Kontribusi pembakaran tembakau terhadap pendapatan negara mencapai angka yang fantastis, yakni hingga Rp 188 trilliun pada 2021.
Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananti Wibissono memaparkan pelaku industri tembakau selalu membayar dengan tertib setiap tahunnya.
“Industri rokok, tentu di dalamnya termasuk ada perokok, adalah pembayar cukai dan pajak paling tertib. Tidak ada sumber pajak lain setertib rokok,” kata Hananto Wibisono di Yogyakarta dalam pemaparannya pada acara Focus Group Discussion (FGD), Rabu (10/8/2022)
Hananto menuturkan, ekosistem pertembakauan adalah salah satu potret realita gotong royong. Mulai dari petani, pekerja, UMKM, peritel, industri hingga konsumen.
Menurut Hananto apabila satu regulasi dibuat yang ditujukan bagi satu elemen, maka yang terdampak adalah seluruhnya. Maka penting menjaga peran industri tembakau dengan melibatkan konsumen untuk menyusun regulasi tembakau di Indonesia.
Hal ini juga ditegaskan Komisioner Ombudsman DIY Agung Sedayu. Agung menegaskan bahwa kebijakan, pengambilan keputusan terkait regulasi dalam ekosistem pertembakauan perlu dievaluasi dan dikoreksi, mulai dari sisi produksi hingga konsumsi, pemenuhan hak konsumen dirasa masih kurang elok.
“Agregasi aspirasi konsumen yang dilakukan kali ini diharapkan bisa menjadikan Yogyakarta sebagai daerah yang progresif dalam menerapkan strategi inovasi kebijakan ekosistem pertembakauan,”ucap Agung.
Andi Kartala selaku Ketua Umum Pakta Konsumen mewakili organisasi yang berkomitmen mengadvokasi hak konsumen, menuturkan konsumen tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan peraturan daerah kawasan tanpa rokok (KTR) di berbagai lokasi. Padahal, kebijakan dan regulasi tersebut secara jelas mengatur konsumen dengan sangat ketat.
Ia menegaskan konsumen produk tembakau memilki tanggung jawab pada negara dalam bentuk CHT dan pajak yang diamanatkan dalam PMK 192/PMK.010/2021.
Dosen Universitas Sanata Dharma Antonius Budi Susilo, menuturkan bahwa lemahnya data menjadi faktor yang menyebabkan hal di atas terjadi. Data kuantitatif dan kualitatif terkait jumlah konsumen tembakau membuat regulasi pengendalian tembakau semakin masif dan penuh tekanan.
Tembakau telanjur dianggap dan disudutkan sebagai komoditas yang mendapat stigma negatif.(rab/maja)