Dalam beberapa waktu terakhir, masyarakat dihebohkan dengan kelangkaan gas LPG 3 Kg di sejumlah daerah. Merespon masalah tersebut, Pertamina melakukan sidak ke sejumlah pasar.
Fahmy Radhi Pengamat Energi di Universitas Gadjah Mada melihat, LPG 3 Kg langka ini sudah terjadi sekitar sebulan. Dia juga mencatat bahwa kelangkaan ini tidak hanya terjadi kali ini, tetapi sudah terjadi berulang kali.
Menurutnya,kelangkaan gas LPG 3 kg terjadi disebutkan oleh dua faktor. Pertama adalah meningkatnya permintaan dari konsumen yang sebenarnya tidak memasuki kategori penerima subsidi LPG.
“Kalau dari kuota sudah mencukupi. Tetapi karena peningkatan permintaan konsumen yang sebenarnya tidak berhak menerima gas subsidi. Atau migrasi dari pembelian LPG 12 kg ke 3 kg,” ujar Fahmy kepada Liputan6.com.
Dengan itu, menurut Fahmy, sudah waktu yang tepat untuk Pertamina merubah sistem distribusinya dari terbuka menjadi tertutup.
“Karena dengan sistem distribusi terbuka maka siapapu bisa membeli gas LPG 3 kg dalam jumlah berapapun tanpa saksi. Maka dari itu terjadi permintaan dari konsumen yang tidak berhak menerima,” jelasnya.
Konsumen tentunya teritarik untuk membeli karena disparitas harga antara 12 kg dengan 3 kg itu sellisih per kilonya cukup besar.Konsumen pada dasarnya rasional, bila mereka mendapati barang dengan harga lebih murah, mereka tidak akan memilih yang mahal,” paparnya.
Dengan demikian, mestinya Pertamina mengubah sistem distribusi dari terbuka menjadi tertutup khusus untuk LPG 3 Kg, ujar Fahmy.
Saran Untuk Pertamina
Untuk penanganan kelangkaan dalam jangka pendek, Fahmy melihat, Pertamina sudah melakukan langkah yang tepat dari operasi pasar.
“Tetapi operasi pasar ini belum menjamin kelangkaan tidak akan terjadi lagi. Maka jangka panjang, harus mengubah sistem distribusi menjadi tertutup,” Fahmy menegaskan.
Selain itu, dia juga menyarankan, Pertamina perlu mengumpulkan data yang valid untuk menentukan siapa saja yang berhak membeli gs LPG 3 kg.
Fahmy menjelaskan, jika Pertamina melakukannya lewat aplikasi MYPertamina, itu tidak tepat sama sekali karena masyarakat miskin tidak punya akses pada aplikasi tersebut. Kemudian jika melalui KTP atau KK juga tidak tepat, karena tidak menggambarkan kondisi ekonomi suatu individu.
“Menurut saya yang paling tepat adalah menggunakan data valid yang sudah dimiliki oleh Kementerian Sosial, mereka sudah punya data tentang masyarakat miskin yang berhak menerima subsidi,” bebernya.
Data tersebut bahkan sudah dikumpulkan berdasarkan nama dan alamat. Data ini bahkan sudah digunakan ketika pembagian BLT. Cara ini akan jauh lebih mudah daripada mengumpulkan data lagi,” tambah dia. (lptn/gk/mjf)