Sejak tayang di bioskop pada 8 Mei 2024, film Vina: Sebelum 7 Hari ramai diperbincangkan di media sosial, khususnya TikTok dan X, lantaran menampilkan adegan kekerasan seksual. Oleh Lembaga Sensor Film (LSF), adegan tersebut dinilai masih wajar untuk film kategori 17 tahun ke atas. Namun, kritikus film, aktivis perempuan, dan sejumlah warganet menilai adegan itu terlalu brutal dan kurang etis.
Vina: Sebelum 7 Hari merupakan film horor terbaru yang disutradarai oleh Anggy Umbara dan diproduksi Dee Company.
Sebuah video yang sudah ditonton hampir 600.000 kali di media sosial X (sebelumnya bernama Twitter) menunjukkan rekaman layar bioskop pada akhir film yang memainkan rekaman suara Linda, sahabat Vina, ketika ia dirasuki oleh arwah temannya.
Dalam rekaman itu, Linda mendeskripsikan secara detil apa yang terjadi pada Vina.
Cuplikan video itu kemudian diunggah ulang oleh sejumlah akun di X yang menyebut adegan kekerasan seksual dibuat semirip mungkin dengan rekaman suara tersebut.
Seorang pengguna X dengan nama akun @junpalim, mengatakan ia sama sekali tidak tertarik menonton film horor tersebut karena “dari awal produksi dan promonya terendus [film itu] sangat nirempati.”
Seorang warganet yang sudah menonton film tersebut, merasa bahwa ada beberapa adegan yang tidak perlu dimasukkan ke dalam film, khususnya bagian pemerkosaan dan tampilan almarhumah yang berlebihan atau didramatisir.
Sementara, penonton lain yang bernama Monica (bukan nama sebenarnya) memberikan film tersebut skor sempurna. Karena, menurutnya, jalan cerita film itu cukup bagus dan adegan kekerasan seksual di dalamnya tidak bersifat eksploitatif atau dibuat berlebihan.
Penjelasan LSF soal adegan kekerasan seksual dalam film
Rommy Fibri Hardiyanto Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), menyebut adegan kekerasan seksual yang dilakukan oleh segerombolan pria geng motor terhadap Vina merupakan bagian dari konteks awal film.
Sehingga, menurut Rommy, adegan itu tidak serta-merta ada untuk mendramatisir tindakan keji itu sendiri.
“Artinya secara alur film, adegan ini harus ada karena memang itu bagian dari adegan yang kemudian memunculkan sebab-akibat di depan dan di belakangnya,“ ungkapnya.
Mengacu pada pedoman sensor yang tertera pada Permendikbudristek Nomor 14 tahun 2019 Pasal 8, penyensoran pada film dapat meliput kekerasan, perjudian, narkotika, pornografi, SARA, hukum, harkat dan martabat manusia serta usia penonton.
Dalam pasal 12 khususnya, terdapat sejumlah unsur yang tergolong pornografi, di antaranya visual telanjang setengah tubuh perempuan maupun seluruh tubuh perempuan maupun laki-laki, visual perkosaan, dialog atau monolog cabul.
Pengamat dan kritikus film memilih tidak menonton film tersebut
Dheeraj Kalwani, produser sekaligus CEO Dee Company, mengatakan pihaknya membuat adegan kekerasan seksual secara “apa adanya” supaya penonton dapat mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto, menjelaskan kepada BBC News Indonesia bahwa adegan kekerasan dalam film itu masih berada dalam batas wajar untuk film dewasa sesuai pedoman sensor yang tertera dalam Permendikbud Nomor 14 tahun 2019.
“Adegan kekerasan yang sudah diluluskan itu dinilai LSF masih proporsional dan bisa diterima orang 17 tahun ke atas,” kata Rommy pada Jumat (10/05).
Meski begitu, aktivis perempuan, Tunggal Pawestri, mengatakan bahwa pembuat film dan lembaga sensor perlu mempertimbangkan pula sensitivitas terhadap korban serta penyintas kekerasan seksual dan tidak hanya menilai layak atau tidaknya sebuah adegan berdasarkan pedoman semata.
Di sisi lain, pengamat perfilman, Hikmat Darmawan, mengatakan adegan kekerasan seksual pada umumnya memang memicu protes dari berbagai kalangan.
Film Vina: Sebelum 7 Hari diangkat dari kisah nyata kasus pembunuhan dan pemerkosaan seorang remaja asal Cirebon bernama Vina pada 2016 lalu.
Melalui film ini, Marliana, kakak perempuan Vina, mengatakan keluarganya berharap kasus kematian adiknya dapat terangkat kembali dan diusut tuntas oleh pihak otoritas. (gk/mjf/bbc)