Disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa terbaru sebagai usul inisiatif DPR RI pada 11 Juli 2023 lalu jadi sorotan banyak pihak, salah satunya Indonesian Coruption Watch (ICW).
Beberapa poin dalam RUU tersebut diantaranya perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam jadi sembilan tahun dalam tiga periode, serta usulan kenaikan dana desa dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebanyak 20 persen, dari yang sebelumnya kurang lebih sebesar Rp 68 triliun.
Sorotan tersebut terjadi, karena saat RUU tersebut dibahas hingga disahkan, ada sejumlah pelaporan Penyelewangan atau Korupsi Dana Desa yang sedang ditangani polisi.
Dewi Anggraeni, Peneliti ICW menyebut, di tahun 2022 saja pihaknya mencatat total kasus korupsi yang menyeret perangkat/kepala desa sejumlah 174 kasus. Dari angka tersebut, untuk Jawa Timur sendiri mencapai 57 kasus, dan jadi yang tertinggi secara nasional.
Banyaknya jumlah kasus itu, menurutnya harus jadi pertimbangan ketika pemerintah akan menaikan dana desa dalam APBN.
“Mau ditambah atau diperbesar, yang pasti perlu diperhatikan juga pengawasannya, transparansinya, akuntabilitasnya bagaimana? Karena dari catatan ICW sendiri cukup miris ketika kita berbicara mengenai korupsi dana desa, apalagi anggaran dana desa menempati salah satu sektor anggaran yang paling banyak dikorupsi,” ujarnya saat mengudara dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Senin (17/7/2023).
Kata Dewi, peningkatan pengawasan dan transparansi perlu karena kasus korupsi dana desa yang terungkap modusnya beragam. Paling banyak ditemui, lanjutnya, yakni terkait proyek infrastruktur serta pengadaan barang dan jasa.
“Mulai lelangnya yang bermasalah, dilanjutkan ke pengadaan dan pekerjaan yang tidak selesai karena anggarannya ditilep. Kemudian pengadaan barang dan jasa atau proyek infrastruktur, pertanggung jawabannya ini juga tentunya pasti bermasalah,” jelasnya, seperti yang dilansir dari suarasurabaya.net.
Peneliti ICW itu mengungkapkan, ada lima titik celah dimana seorang perangkat/kepala desa berani melakukan tindak pidana korupsi.
“Jadi pertama dari sisi perencanaan, kedua dari sisi pelaksanaan, tiga dari proses pengadaan barang dan jasa baik penyaluran maupun pengelolaannya, kemudian keempat pertanggung jawaban dan terakhir tahap monitoring evaluasinya,” paparnya.
Dia menyampaikan selain pengawasan dan transparansi dari pejabat terkait penggunaan dana desa, masyarakat tentu harus dilibatkan mulai dari tahap perencanaan. Serta, segala masukan dari masyarakat tersebut harus diakomodasi.
Masyarakat sebagai penerima manfaat dana desa punya peran penting harus berani melapor jika menemui kejanggalan dalam pengelolaan dana desa.
“Pemerintah dan kementerian terkait harus membuka kanal aduan dan perlindungan, untuk mebangun semangat masyarakat dalam mengawasi. Karena banyak kasus diskriminasi atas ancaman saat seseorang melaporkan kasus dugaan korupsi,” bebernya.
Selain itu, kedepan pemerintah diharapkan juga melakukan pendampingan kepada perangkat dan kepala desa, tidak hanya mengucurkan dana untuk dikelola. (ssnet/gk/mjf)