Warga Palestina yang dipaksa meninggalkan rumahnya karena serangan membabi buta Israel di Jalur Gaza mulai merasa putus asa dan ragu penderitaannya akan mereda, meski Pengadilan Internasional (ICJ) telah memerintahkan Zionis menghentikan serangannya di Rafah.
“Situasi pembantaian semakin buruk,” ujar Salwa al-Masri salah satu warga Gaza di kamp pengungsian Deir al-Balah, seperti dilasir dari Reuters, Sabtu (25/5/2024). Dia berharap, perintah pengadilan tertinggi PBB itu bukan sekedar deklarasi semata, melainkan bisa diterapkan secara nyata.
“Mereka seharusnya tidak mengatakan sesuatu, jika pelaksanaannya justru berbeda,” keluh Masri yang melarikan diri dari rumahnya di utara Gaza sejak awal perang tersebut.
Sebelumnya, para hakim Pengadilan Internasional, pada Jumat (24/5/2024), memerintahkan Israel menghentikan serangan di kegubernuran Rafah. Keputusan itu merupakan tonggak sejarah dalam kasus yang diajukan oleh Afrika Selatan, yang menuduh Israel melakukan genosida dalam serangannya terhadap Jalur Gaza.
Meski demikian, ICJ tidak punya kewenangan untuk menegakkan putusannya. Apalagi Benny Gantz menteri perang Israel menyatakan akan melanjutkan perang dengan dalih untuk membebaskan warganya yang dtawan Hamas.
Israel juga menolak tuduhan Afrika Selatan kalau mereka telah melakukan genosida terhadap Palestina dalam perang Gaza. Meski telah membunuh lebih dari 35 ribu warga di Gaza yang mayoritas anak-anak dan perempuan, Zionis menyebut hal tersebut sebagai tindakan untuk mempertahankan diri dan melawan Hamas.
“Israel tidak peduli dengan opini dunia, mereka berperilaku seolah-olah di atas hukum karena pemerintahan AS melindunginya dari hukuman,” ujar Shaban Abdel-Raouf, seorang warga Palestina yang telah terusir empat kali akibat serangan Israel.
“Dunia belum siap untuk menghentikan pembantaian kita oleh tangan Israel,” tambah Abdel-Raouf.
Sebagai informasi, Israel mulai menyerang Rafah awal bulan ini dengan tujuan untuk menghabisi pejuang Hamas yang masih bersembunyi di sana.
Serangan Israel secara bersamaan di tepi utara dan selatan Gaza bulan ini telah menyebabkan ratusan ribu warga Palestina melarikan diri dari rumah mereka, dan memutus jalur akses utama untuk bantuan/ dan meningkatkan risiko kelaparan.