Menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan dan sebagai bentuk ungkapan syukur atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan, serta mendoakan para leluhur, tradisi nyadran masih dilakukan masyarakat di sejumlah lingkungan di Kota mojokerto. .
Nyadran sendiri merupakan tradisi yang tercipta dari proses akulturasi antara budaya Jawa dengan budaya Islam. Selain untuk menghormati leluhur, nyadran selalu dilaksanakan setiap tahun untuk melestarikan tradisi tersebut secara turun-temurun.
“Tradisi nyadran merupakan kegiatan yang baik dan positif. Karena dalam budaya Jawa, nyadran ini sebagai wujud dalam menghormati leluhur, memelihara lingkungan, serta bentuk syukur,” tutur Penjabat (Pj.) Wali Kota Mojokerto, Moh. Ali Kuncoro.
Sosok yang akrab disapa Mas Pj itu juga mengapresiasi masyarakat yang masih merawat tradisi warisan nenek moyang tersebut. Karena di dalam kegiatan nyadran juga turut mengajak warga untuk saling bersedekah.
Nyadran juga dijadikan sebagai sarana melestarikan budaya gotong royong sekaligus upaya untuk menjaga keharmonisan masyarakat melalui kegiatan kembul bujono (makan bersama).
“Seluruh masyarakat berbagi melalui tumpengan bareng dan makan bareng. Yakinlah, apa yang kita bagi pasti akan kembali berlipat-lipat,’’ imbuhnya.
Prosesi nyadran diawali dengan arak–arakan tumpeng ageng sebagai simbol gotong royong dan keharmonisan. Warga juga turut membawa asahan yang berisi berbagai makanan olahan, hasil bumi, serta serabi sebagai jajanan khas.
Diiringi pawai budaya, tumpeng diarak dari jalan kampung menuju area makam sesepuh setempat. Dilanjutkan dengan memanjatkan doa bersama.
Warga kemudian saling berebut untuk mengambil makanan yang ada di tumpeng ageng dan melakukan purakan atau makan bersama-sama di area makam. (gk/mjf)