Pertengahan Desember 21 tahun lalu, tanah longsor meluluhlantakkan kawasan wisata pemandian air panas di Desa Padusan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto. Tragisnya, bencana alam itu menewaskan 26 orang yang sedang mandi di sana.
Rabu, 11 Desember 2002, sepekan setelah Hari Raya Idul Fitri, pemandian air panas Padusan ramai dikunjungi wisatawan. Bukan pemandangan luar biasa karena kondisi ini sudah seperti tradisi tahunan. Wisatawan dari berbagai daerah di Jawa Timur berbondong-bondong menghabiskan libur Lebaran di sana.
Sekitar pukul 15.30 WIB, ketika cuaca sedang hujan lebat musibah itu datang. Banjir bandang terjadi di kawasan Welirang. Gemuruh disusul longsoran tanah dan potongan kayu-kayu gelondongan dengan cepat meluncur dari atas gunung.
Dalam sekejap tanah longsor menimbun lokasi pemandian dan membuyarkan kebahagiaan wisatawan. Suasana renyah tawa keceriaan sontak berubah mencekam. Air pemandian yang semula bersih berubah menjadi hitam pekat. Tanah longsor juga mengempaskan para pengunjung di pemandian hingga ratusan meter.
“Saat itu saya di warung makan untuk istirahat. Saya lihat ada sekitar 25 orang yang sedang mandi di pemandian, ratusan orang di sekitar pemandian. Saya mendengar suara gemuruh yang disusul longsor dari atas gunung,” ungkap Budi Joko, salah seorang pengunjung asal Surabaya, Rabu (11/12/2002).
Iptu Zaenal Reo Candra yang saat itu menjabat Kapolsek Pacet mengatakan, tepat usai kejadian, empat korban meninggal dunia ditemukan di lokasi pemandian. Sementara sebelas orang lainnya ditemukan terseret hingga 30 meter.
“Empat korban meninggal di lokasi pemandian dan 11 lainnya ditemukan telah terseret arus hingga 30 Meter. Kondisi mayat rata-rata sulit dikenali karena terbungkus lumpur. Selain itu, ada mayat yang organ tubuhnya patah-patah dan hancur,” katanya.
Korban kebanyakan anak kecil dan ibu-ibu. Jasad mereka diangkat langsung dievakuasi ke Puskesmas Pacet. Sementara korban selamat dibawa ke Rumah Sakit Sumberglagah dan Rumah Sakit Umum Mojokerto.
Kawasan wisata Padusan pun langsung ditutup untuk proses pencarian korban yang masih terkubur dan hilang. Namun, evakuasi terkendala waktu dan sulitnya medan. Upaya pencarian juga sempat dihentikan karena hujan.
Operasi pencarian korban longsor Padusan dilakukan hingga beberapa hari. Jumlah korban tewas pun simpang siur. Data kepolisian menyebut korban tewas 26 orang sedangkan data Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo Surabaya menyatakan 29 orang tewas.
Berbeda lagi dengan catatan posko yang menunjukkan data 31 korban tewas. Saat itu, posko dipadati masyarakat yang mencari keluarganya yang hilang. Para korban yang belum ditemukan diduga tersapu air bah dan hanyut.
Kejadian tanah longsor itu bukanlah yang pertama kali terjadi di pemandian air panas Padusan. Jauh sebelum itu, longsor pertama terjadi pada 1987. Longsor kedua bahkan terjadi beberapa hari sebelumnya, tepatnya pada 4 Desember 2002, namun tidak ada korban jiwa.
Longsor Padusan pada 2002 silam merupakan peristiwa ketiga kalinya. Tanah longsor terjadi karena gundulnya lereng Gunung Welirang. Wilayah yang sejatinya menjadi daerah resapan justru tidak berfungsi dengan baik karena hutan kayu jati di bagian hulu di atas bukit habis akibat penebangan liar.
“Jadi tanah longsor itu akibat Kondisi lereng Welirang yang memprihatinkan karena gundul akibat penebangan liar,” kata Henny Suhendra yang saat itu menjabat Kepala Bagian Humas Pemkab Mojokerto. (gk.mjf/dtk)