Pengamat Transportasi dan Pakar Hukum Tidak Sepakat Kebijakan SIM Seumur Hidup

Ujian praktik pembuatan surat izin mengemudi (SIM) untuk kendaraan roda dua di Polresta Sidoarjo. Foto: Antara

Bagus Oktafian Abrianto, Dosen Hukum Administrasi Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH Unair), menyebut wacana perubahan kebijakan SIM seumur hidup bisa menurunkan pengawasan ke pengendara.

Bagus menganalogikan, apabila pemerintah mengeluarkan izin tidak serta merta langsung memberikan kepada pemohon, namun harus memenuhi kualifikasi tertentu.

Menurutnya dalam konteks SIM ini, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) juga tidak serta merta memberikan izin. Tapi juga harus di sertai pengawasan dalam tahapan tahapan pengawasan tertentu.

“Izin ini harus di sertai dengan syarat syarat tertentu yang harus di penuhi oleh masyarakat agar dapat mengunakan atau di berikan izin,” kata Bagus, seperti yang dilansir dari suarasurabaya.net, Kamis (3/7/2023).

Kemudian terkait wacana masa berlaku SIM, lanjutnya, ada dua hal yang harus dibedakan, yaitu antara kepentingan politis dan legal. Dalam perspektif legal atau hukum, sudah jelas kalau kepemilikan SIM ada persyaratan, kriteria, dan jangka waktunya.

Bagus mengaku sepakat sebagai seorang akademisi kalau kepemilikan SIM harus ada jangka waktu tertentu. Dia menyebut kondisi setiap orang bisa jadi mengalami perbedaan setiap tahunnya.

“Misalnya si A mendapatkan SIM pada tahun 2023, pada tahun 2024 keadaanya si A mengalami sakit. Apakah sama perlakuan orang sakit tidak bisa mengendarai motor?” ujarnya.

Selanjutnya, menurut Bagus ada batasan tertentu dalam izin pemberian SIM. Misalnya seseorang yang diberikan izin mengemudi itu harus patuh pada ketentuan peraturan lalu lintas.

Tapi dalam kenyatannya orang yang memiliki SIM juga banyak melanggar ketentuan dan peraturan lalu lintas. “Apakah orang ini akan diberikan SIM selamanya? Menurut saya, hal ini tidak etis dan tidak sesuai hukum yang berlaku, karena hukum itu juga harus berlandaskan moral dan etis,” imbuhnya.

Sementara itu menurut Dadang Supriyanto, pengamat Transportasi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) mengatakan SIM ini merupakan sertifikasi dari pengemudi, sehingga harus melalui prosedur dan tahapan yang berlaku.

“Seorang pengemudi itu harus dibekali kompetensi keahlian sesuai amanah UU Bo 22 tahun 2004, karena seorang pengemudi membawa orang, penumpang atau barang,” kata Dadang.

Menurutnya kemampuan seorang pengemudi juga harus dievaluasi, sehingga bisa diketahui kemampuannya. Indikasi kemampuan itu bisa dilihat dari prosentase pelanggaran yang dilakukan. Seperti melanggar batas kecepatan, marka, rambu rambu yang dilanggar pengemudi.

“Jika SIM berlaku seumur hidup, dikuatirkan berkurangnya faktor pengawasan, karena si pemilik SIM ini, secara subjektif akan mengalami dinamisasi, misalkan bertambahnya usia, faktor kesehatan dan lain-lain,”ujarnya. (ssnet/gk/mjf)

Pedagang Tambah Stok Buah di Tengah Meningkatnya Permintaan Saat Ramadan

Baca juga :