Kesenian ludruk merupakan salah satu kesenian tradisional berbentuk pertunjukan drama yang berasal dari Jawa Timur. Ketika masa orde lama, di Desa Canggu, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, banyak berdiri grup kesenian ludruk.
Seperti Panggelaran Budi, Kartika Sari, dan Kebora. Namun semua grup ludruk dibubarkan oleh pemerintah pasca tragedi G30S PKI. Ini lantaran kesenian ludruk dianggap anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang merupakan underbow dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Di tahun 1967 kesenian ludruk kembali dihidupkan. Namun muncul dengan alur cerita yang berbeda. Meski demikian, tetap saja masyarakat sipil belum ada yang berani mendirikan group ludruk. Ludruk kembali tampil diprakarsai dari kalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri.
Muncullah grup-grup ludruk besutan TNI diawali dari Kodam V/Brawijaya yang mendirikan ludruk Wijaya Kusuma, di Madiun ada ludruk Kopasgat Tri Sula Dharma, Brimob Porong mendirikan ludruk Teratai Jaya, Kodim Jombang mendirikan dua ludruk, Putra Bhirawa Brata dan Bintang Jaya dan di Mojokerto berdiri ludruk Bhayangkara.
Tahun 1969, warga Desa Canggu, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto meminta Bantoe seorang anggota Polsek Jetis untuk mendirikan ludruk. Mengingat pada saat itu memang sangat sulit untuk mendapat izin mendirikan ludruk kecuali kalau ludruk tersebut berada di bawah binaan militer.
Cak Bantoe (sapaan akrab, red) menyetujui permintaan tersebut dan didaulat sebagai pimpinan ludruk yang diberi nama Ludruk Karya Budaya Mojokerto. Ludruk Karya Budaya berdiri tanggal 29 Mei 1969 berada binaan Polsek Jetis. Cak Bantoe merupakan ayah kandung Edy Karya yang kini menjadi pimpinan grup ludruk tersebut.
“Bapak saya meninggal dunia pada tahun 1993 di usia 63 tahun. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ayah pernah berwasiat. ‘Nek aku mati ludruk e ojo sampek dipimpin anakku (kalau aku mati ludruknya jangan sampai dipimpin anakku, red),” ungkapnya, Minggu (5/6/2022).
Hal tersebut lantaran kekhawatiran terhadap karir sang anak yang saat itu sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ia tidak ingin kesibukan mengurus manejemen Ludruk Karya Budaya mengganggu pekerjaan Edy di Dinas Pendidikan Kabupaten Mojokerto karena sering pentas.
“Ludruk pentas kan malam hari, dan pulang dini hari. Dulu pemainnya banyak yang pegawai negeri, banyak yang dari guru, pegawai kecamatan. Rata-rata orang itu di tempat kerjanya tidak maksimal. Bayangkan, semalam suntuk pentas ludruk, lalu paginya mengajar, laporan kepala sekolah kalau mengajar ngantuk. Mungkin bapak trauma dengan itu,” katanya.
Edy mengaku sempat dilarang ikut pementasan di tahun 1983 karena ia sudah aktif sebagai PNS. Akan tetapi, seluruh anggota Ludruk Karya Budaya menginginkan ia yang menggantikan bapaknya menahkodai ludruk Karya Budaya pasca meninggalnya Cak Bantoe. Seluruh anggota Ludruk Karya Budaya datang ke rumahnya dan meminta menggantikan posisi mendiang Can Bantoe.
“Pulang pentas bawa truk datang ke rumah minta saya jadi pimpinan Karya Budaya. Mereka tidak mau kalau tidak saya yang memimpin, akhirnya ibu saya diizinkan. Itu sudah menjadi makanan sehari-hari saya. Dulu pas bapak masih ada, saya memilih sebagai pengawas dan menuliskan alur cerita sehingga saya tahu persis waktu itu,” ujarnya.
Masih kata pensiunan PNS ini, menulis naskah cerita sudah ia mulai sejak duduk di bangku SMA. Karena ia aktif mengikuti ekstrakurikuler teater. Namun setelah memimpin Ludruk Karya Budaya, ia tidak bisa mengawasi saat pentas. Ia bisa mengawasi secara langsung saat weekend.
“Hanya saja untuk pentas sehari-hari saya tidak bisa ikut mengawasi. Pada hari Jumat dan Sabtu saya baru bisa ikut. Semuanya saya serahkan kepada manajemen, sutradara, saya hanya mengawasi saja. Baru setelah pensiun saya bisa terjun langsung mengawasi jalannya pementasan,” tuturnya.
Sejak berdiri, Ludruk Karya Budaya berhasil merebut hati penontonnya dengan parikan dan kidungan khasnya. Seiring berjalannya waktu, pemainnya silih berganti. Pemain generasi awal yang tersisa tinggal tiga orang. Dua orang pemain ludruk, Cak Naswan dan Sapari. Satu pengrawit, Cak Sukiman.
“Untuk menjadi anggota tidak ada proses seleksi karena manajemen budaya tidak dikelola secara profesional. Jika ada pemain yang sudah agak loyo tidak serta merta harus diganti. Pergantian pemain dilakukan jika ada yang mengundurkan diri atau meninggal. Saya menerapkan manajemen kemanusiaan,” jelasnya.
Untuk menggantikan anggota yang mengundurkan diri, ia lebih mengutamakan anak muda yang memiliki semangat dan tekad untuk sama-sama membesarkan Ludruk Karya Budaya. Menurutnya, anggota pengganti tidak harus orang hebat atau yang terkenal.
“Kita pilih anak-anak muda, makanya tidak kehabisan kader. Pernah dulu manggung 165 hari tidak berhenti, itu kan 3 bulan lamanya. Artinya kita sukses menghibur masyarakat. Namun saya selalu tekankan ke anggota, juga harus bekerja lain selain ludruk. Sekarang sudah ada yang jadi petani, ada yang salon, dan sebagainya,” urainya.
Era keemasan Ludruk Karya Budaya, lanjut pria 68 ini, mulai dirasakan pada tahun 1970. Ludruk Karya budaya dikontrak oleh partai Golongan Karya (Golkar) untuk kampanye persiapan Pemilu di tahun 1971. Mereka pentas dari panggung ke panggung, mulai tingkat kecamatan maupun kabupaten.
“Sehingga ini dimanfaatkan almarhum bapak untuk menambakan pemain dari luar Canggu yang sudah memiliki nama besar. Diantaranya, Cak Kunting, Cak Sukir, Cak Taji, dan beberapa pemain berpenampilan transgender (waria). Sejak itu laris manis tanggapannya. Saat itu pentas tidak terlalu jauh,” tegasnya.
Seperti Tuban, Lamongan, Bojonegoro, Surabaya dan sekitarnya. Bahkan, Jika sepi job mereka menggelar pertujukan di lapangan untuk nobong, istilah sekarang nobar dengan dikarciskan. Pasca pandemi, pemerintah melonggarkan pemakaian masker bagi masyarakat yang beraktivitas di luar ruangan atau area terbuka menjadi angin segar.
Meski di masa pandemi, sejumlah pagelaran ludruk digelar Ludruk Karya Budaya melalui daring. Terakhir Ludruk Karya Budaya menjadi penutup agenda Bulan Bung Karno yang digelar Pemerintah Kota (Pemkot) Mojokerto di SDN Purwotengah dengan lakon ‘Putra Sang Fajar’.