Menteri Kesehatan RI menyebut, masih ada 22 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Jawa Timur yang belum memenuhi tujuh dokter spesialis dasar.
Budi Gunadi Sadikin Menteri Kesehatan RI menyebutm ketersediaan dokter spesialis di Indonesia termasuk Jawa Timur masih jauh dari ambang batas minimum yang dibutuhkan. Idealnya, rasio kebutuhan dokter spesialis dengan jumlah penduduk di Jatim adalah 0,17 per seribu.
“Yang dibutuhkan sekitar 10.994, namun yang ada 6.675. Sehingga masih kurang 4.300 dokter spesialis khusus Jawa Timur aja,” kata Budi, seperti yang dikutip dari suarasurabaya.net, Jumat (31/3/2023).
Imbasnya, masih ada 22 RSUD yang belum memenuhi standar jumlah dokter spesialis yaitu tujuh. Mulai dari spesialis kebidanan dan kandungan (obstetri dan ginekologi), spesialis anak, spesialis bedah, spesialis penyakit dalam, spesialis anestesi, spesialis radiologi, dan spesialis patologi klinis.
“Di Jatim, masih ada 22 RSUD yang belum punya 7 dokter spesialis dasar,” tambahnya.
Terutama, spesialis untuk lima penyakit paling banyak memakan korban jiwa, lanjut Budi, harusnya dipastikan lengkap dimiliki seluruh kabupaten/kota.
“Penyakit-penyakit stroke, jantung, kanker, ginjal dan pneumonia. Itu 5 besar yang paling banyak makan korban jiwa itu, mulai kelihatan pascacovid. Sehingga harus dipastikan itu harus lengkap memiliki di seluruh kabupaten/kota di Jatim,” pungkasnya.
Menjawab pernyataan Budi, Erwin Ashta Triyono Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur menuturkan kekurangan sumber daya manusia dokter spesialis di RSUD itu tantangan bersama. Meski begitu, tidak mengubah tingkat layanan kesehatan Jawa Timur.
“Tapi, bagaimana pun tetap harus ada strategi transisi. Tetap diupayakan semaksimal mungkin kita punya sistem rujukan yang baik. Kalau di situ (RSUD satu) tidak ada spesialis, ya tentu bisa dirujuk ke area terdekat situ. Sehingga, mutu layanan di Jatim tetap maksimal,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia sepakat, cara jangka panjang mengatasi kekurangan dokter spesialis adalah dengan investasi SDM. Pemda, membiayai atau memberi beasiswa putra daerah untuk menempuh pendidikan hingga lulus dan diminta mengabdi di kepulauan asal selama beberapa tahun.
Seperti yang sudah dilakukan Pemkab Sumenep dan Pemkab Gresik yang bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan Universitas Brawijaya.
“Dengan Academy Health System ini, bisa menjawab 4 masalah. Satu, produktivitas agar teman-teman di daerah mau sekolah lagi. Kedua, masalah mutu. Ketiga, distribusi karena lulusan baru sering kali rebutan, sekarang sudah disiapkan dari sebelum masuk mau kemana nanti. Selanjutnya, kesejahteraan mereka tetap dipertimbangkan sarana prasarana, rupiah, jenjang karir, sekolah, itu yang harus dilengkapi supaya isu terkait dengan pemenuhan kebutuhan spesialis betul komprehensif,” bebernya lagi.
Ia mendorong seluruh pemda di wilayah Jawa Timur, seperti instruksi Menkes, untuk juga investasi SDM demi mencukupi kebutuhan dokter spesialis di daerahnya masing-masing.
“Semua kabupaten/kota wajib investasi. Tapi, kemudahan itu sama atau tidak tergantung sekarang yang jadi fokus kepulauan terpencil. Gresik, Sumenep, paling banyak punya daerah terpencil. Sisanya, kita bicarakan dan hitung bersama,” tutupnya. (ssnet/gk/mjf)