Tingginya harga cabai rawit di pasar membuat para petani di Kecamatan Dawarblandong yang sebagian besar merupakan petani cabai harus memutar otak. Terlebih saat ini masa panen telah habis.
Untuk memenuhi kebutuhan pasar, sebagai para petani cabai di Kecamatan Dawarblandong memilih mengais sisa hasil panen mereka untuk di jual kembali.
Salah satunya Didit, salah seorang petani cabai di Desa Brayublandong, Kecamatan Dawarblandong. Ia bersama sang istri sudah lima belas kali panen dalam lima bulan terakhir.
Namun, disaat harga cabai di pasaran merangkak naik hingga tembus harga Rp 80 ribu sampai Rp 100 ribu, ia dan istrinya hanya bisa mengais sisa-sisa masa panen yang sudah lewat. Hasilnya pun hanya mencapai 1 sampai 2 kilogram saja.
“Sekarang ambil sisa-sisa yang masih ada saja dan sisa panen ini ke bakul lombok” ucapnya.
Dia berujar, sisa-sisa panen lombok ini dihargai petani dari kisaran harga Rp 60 ribu sampai Rp 70 ribu. “Paling mahal waktu masa panen cuman Rp 38 ribu per kilogram di bakul. Sekarang tembus Rp 60 ribu sampai Rp 70 ribu an,” ujarnya.
Kecamatan Dawarblandong sendiri, merupakan sentra petani cabai rawit yang pada bulan Juni biasanya sudah masuk persiapan masa tanam baru.
Hal serupa juga dilakukan Suharti, petani di Desa Gunungsari, Kecamatan Dawarblandong yang juga mengais sisa panen cabai di lahan seluas 20×40 meter persegi miliknya. Hanya saja dirinya memilih mengkonsumsinya secara pribadi.
“Sudah habis panennya. Ini sisa yah buat sambel saja. Eman sih, pas harga tinggi, malah gak berbuah sudah cabainya,” ujarnya.
Sementara itu, Ahmad Faisol, Kabid Tanaman Pangan dan Holtikultura Dinas Pertanian Kabupaten Mojokerto menjelaskan, fenomena meroketnya harga cabai saat ini disebabkan minimnya pasokan cabai diberbagai daerah termasuk Di Kabupaten Mojokerto.
“Jadi saat ini petani masih dalam masa persiapan masa tanam. Mulai menyemai benih Juli, dan masa tanam pada Oktober-November nanti,”tandasnya. (fad/gk)