Kebijakan subsidi untuk pembelian mobil dan motor listrik ternyata minim peminat. Bhima Yudhistira Adhinegara Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyebut karena harga terlalu mahal dan ekosistem penunjang yang kurang.
Selain itu, Bhima juga menyebut subsidi yang diberikan pemerintah saat ini untuk mendongkrak penjualan kendaraan listik belum tepat sasaran, sehingga tidak efektif.
Skema subsidi untuk pembelian motor listrik diberlakukan sejak 20 Maret. Sementara untuk pembelian mobil listrik mulai 1 April. Pembeli motor listrik mendapatkan subsidi Rp7 juta, Sedangkan pembeli mobil listrik mendapatkan insentif berupa potongan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari sebelumnya 11 persen jadi 1 persen.
Buktinya, meski sudah berlangsung lebih dari dua bulan, program subsidi dan insentif kendaraan listrik ini kurang diminati masyarakat. Menurut data Surveyor Indonesia (PTSI), hanya 114 orang terverifikasi dan sesuai kriteria, yang sudah memanfaatkan subsidi pembelian motor listrik ini.
Sementara menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), baru 256 pemohon subsidi konversi motor listrik per 25 Mei. Angka itu masih jauh dari alokasi subsidi motor listrik pemerintah yang ditujukan untuk 50 ribu unit pada tahun ini, serta 150 ribu unit bakal tahun depan.
Bhima Yudhistira menambahkan beberapa faktor yang membuat masyarakat kurang tertarik dengan program subsidi motor dan mobil listrik dari pemerintah. Faktor pertama adalah efisiensi waktu dalam mengisi bahan bakar.
Kendaraan listrik membutuhkan waktu berjam-jam untuk mengisi ulang daya baterai hingga full. Sedangkan kendaraan BBM hanya butuh waktu beberapa menit untuk mengisi bahan bakar hingga penuh.
“Pengisian daya untuk mobil listrik juga tidak bisa dilakukan di sembarang tempat. Jadi soal infrastruktur, masih kalah dengan mobil BBM,” ucap Bhima seperti yang dikutip dari suarasurabaya.net, Rabu (7/6/2023).
Selain itu, suku cadang kendaraan listrik tidak tersedia di semua tempat. Harganya pun relatih mahal. Servisnya harus bengkel resmi. “Sementara kalau mobil atau motor BBM, bengkel alternatif banyak,” katanya.
Faktor lainnya adalah ekosistem yang belum mendukung. Misalnya masalah pembiayaan. Menurut Bhima, perusahaan leasing belum terlalu tertarik melakukan kucuran dana untuk pembelian kendaraan listrik.
“Pertama, kebijakan sering berubah-ubah. Kedua, banyak perusahaan leasing di Indonesia ini dimiliki oleh Jepang,” kata alumnus Universitas Gadjah Mada itu.
Menurut Bhima, Jepang sebagai penguasai otomotif di Indonesia tidak tertarik mengembangkan kendaraan listrik. Sebab mereka mengembangkan kendaraan hybrid dan kendaraan berbasis bahan bakar hidrogen (FCEV).
“Mereka mau melakukan lompatan. Kalaupun pakai baterai, namanya hydrogen cell. Jadi bukan menggunakan nikel atau elektrik,” ungkap Bhima.
Selain itu, menurut Bhima, subsidi dan insentif kendaraan listrik memang kurang tepat sasaran sekaligus tidak efektif. Penikmatnya justru orang-orang kaya. Yang sebelumnya sudah memiliki mobil BBM.
“Sekarang kalau subsidinya ke orang kaya, itu membuat masyarakat menjadi skeptis. Mereka mendapatkan subsidi dari pemerintah, sementara kendaraan lamanya tidak dijual. Kota menjadi macet karena jumlah kendaraan bertambah. Ada kesalahan di konseptual itu,” tutur Bhima.
“Mereka membeli mobil listrik lebih ke gaya hidup. Mereka membeli karena tren. Lebih karena FOMO (Fear of missing out), bukan karena untuk menurunkan emisi karbon atau lebih hemat,” imbuhnya.
Bima menambahkan, wacana untuk mendorong masyarakat menggunakan kendaraan listrik dilandasi anggapan bahwa Indonesia memiliki nikel yang cukup banyak. Padahal, kata Bima, nikel di Indonesia yang dipakai untuk kendaraan listrik hanya dua persen dari total ekspor. Sisanya ke pabrik baja antikarat.
Sementara untuk peruntukan nikel ke kendaraan listrik, masih harus dicampur dengan bahan tambang lain yang, kata Bhima, sebagian besar tidak ada di Indonesia.
“Kalau Indonesia mau mengambil pasar mobil listrik, kita bisa mendorong industri baja, alih teknologi, rantai pasoknya, sampai plastiknya harus dari Indonesia. Kalau sekarang masih terputus-putus dan terfragmentasi,” imbuhnya.
Ia juga tidak sepakat dengan anggapan bahwa mobil listrik lebih keberlanjutan lingkungan. Sebab dalam proses nikelnya saja sudah mencemari lingkungan. Selain itu, cadangan nikel juga akan habis jika dikeruk terus menerus.
Jika memang pemerintah getol dengan kendaraan listrik, Bhima mengusulkan agar lebih fokus ke transportasi publik daripada subsidi dan insentif kendaraan pribadi seperti yang dilakukan saat ini,
“Mumpung penjualan masih sedikit, subsidinya diganti saja dengan subsidi transportasi publik. Supaya orang juga tidak terburu-buru membeli kendaran pribadi,” usulnya. (ssnet/gk/mjf)