Beberapa waktu lalu, masyarakat Mojokerto sempat dihebohkan dengan berita kasus bunuh diri yang dilakukan oleh remaja. Hal tersebut tentu membuat siapa saja menyayangkan kejadian tersebut, serta bertanya-tanya mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Perlu diketahui, bunuh diri pada remaja tersebut bukan yang pertama kalinya terjadi. Bahkan WHO menyebut bunuh diri sebagai penyebab kematian nomor dua terbesar di kalangan remaja usia 15-29 tahun, dan tercatat sekitar 4600 jiwa meninggal setiap tahunnya akibat bunuh diri.
Psikolog Hasri Ardilla, S.Psi., M.Psi., Psikolog, menyebut bahwa fenomena tersebut pada dasarnya terkait erat dengan kemampuan mengenali identitas diri. Usia remaja menjadi masa-masa genting dalam fase kehidupan manusia untuk menemukan jati dirinya.
“ketika dia dapat menemukan identitas dirinya, bisa menjawab who am I, dia tidak akan uring-uringan, kebingungan, ataupun kehilangan arah. Tetapi ketika dia tidak mengenali identitas dirinya sendiri, dia akan kebingungan dengan peran dirinya,” terang psikolog yang sehari-hari bertugas di RSUD Dr. Wahidin Sudirohusodo, saat diwawancarai Jumat (4/11) lalu.
Lebih lanjut ia menjelaskan, ketika seorang remaja menemui suatu permasalahan, sementara dia belum mengenali identitas dirinya, hal tersebut dapat mengantarkan pada solusi yang kurang tepat. Sehingga muncul persoalan lain, yang pada puncaknya remaja tersebut dapat mengalami konflik batin berkepanjangan, kehilangan dirinya, mengasingkan diri dan komunikasi sosial yang kurang bagus. Kondisi tersebut, yang apabila tidak diatasi dengan tepat, kemudian dapat memunculkan motif bunuh diri.
Mengutip teori dari Herbert Hendin, Ardilla menerangkan, motif kenapa seseorang memutuskan bunuh diri itu ada empat. Pertama, bunuh diri sebagai usaha untuk mengurangi rasa takut, seakan-akan ia dapat mengontrol dan mengetahui bagaimana kematian itu (death as retaliatory abandonment).
Kedua, untuk memberikan rasa kepuasan. Bagi mereka yang mengalami gangguan emosi hebat, bunuh diri dinilai dapat menghilangkan emosi tersebut (death as retroflexed murder). Ketiga, untuk mencapai tujuan akhir kematian yang menyenangkan, yaitu bertemu dengan orang yang telah mendahului dia (death as reunion).
“Yang terakhir, death as self punishment, dia menganggap bunuh diri ini sebagai hukuman bagi dirinya sendiri. Nah, motif-motif itu tidak akan muncul, ketika di awal dia telah memiliki identitas diri, mengenali dirinya sendiri,” ujar Ardilla.
Untuk mencegah kemunculan kejadian serupa, Ardilla mengajak masing-masing pihak untuk mengambil peran. Misalnya, bagi orang tua, sangat penting untuk bisa menjadi sosok teman bagi anak-anak remajanya. Yaitu, dengan tidak mudah menghakimi dan menggurui.
“Orangtua harus lebih care terhadap kesehatan mental anak. Buat anak untuk bisa nyaman bercerita tanpa rasa takut, seperti dengan teman. Hal ini bisa mengurangi suicidal thought (perasaan,pikiran dan keinginan untuk bunuh diri) pada anak. Meluangkan waktu dengan anak, dan memberi perhatian yang seimbang juga dapat mengurangi potensi masalah pada anak, seperti kenakalan remaja,dan masalah mental lainnya.” ujarnya. (EL/an)